Minggu, 17 April 2016

Si Nomor Empat

Aku kembali mengaktifkan blog ini karena aku suka bercerita, masalahnya tidak semua orang suka menjadi pendengar dari sebuah cerita. Aku menulis ini karena aku ingin menjadikan ini sebuah kenangan untuk saat nanti, saat dimana aku me-recall kenangan ini lagi~


*Kamar, 17 April 2016*

Hari ini si nomor empat pulang, dia adikku karena kami empat bersaudara sebut saja namanya si nomor Empat. Cerita ini bukan pada kenapa dia pulang, bagaimana dia pulang, atau lainnya. Tapi kisah ini dimulai bagaimana dia kembali ke tempatnya.


Sore tadi sekitar jam 16.30 aku keluar kamar dan melihat ia bersiap2 untuk pulang. Namun si nomor Dua yg biasa mengantarkan sedang tidur. Aku pun menawarkan untuk mengantarkannya. Setelah bersiap ternyata hujan di rumahku semakin lebat, kami siap dengan mantel kami. Point pertama ibu selalu khawatir ketika aku memboncengkan seseorang naik motor, begitupun hari ini.


Kami memulai perjalanan ini dengan "bismillah", secara pribadi aku memang takut membawa orang karena aku pernah mencelakai orang yang ku bawa. Ketika keluar pagar aku memilih jalan yg sempit, berkelok dan turunan alasannya lebih cepat. Faktanya aku kesulitan membawa motor karena beban adikku lebih berat. Kau tau apa yg dia lakukan ketika aku kesulitan? Ia membantuku dengan kakinya, dari fisik tubuh dia lebih layak membawa motor daripadaku namun ia percaya padaku bahwa aku bisa membawanya.


Lalu kami menemui jalan Raya Bogor, aku kesulitan ketika ingin menyeberangkan motorku di tengah hujan. Nomor Empat membantuku (lagi) dengan menggunakan tangannya menandakan kami ingin menyeberang. Jalanan pun banjir aku mengambil posisi aman di sebelah kiri jalan dan ia pun basah karena tidak memakai celana jas hujan.


Sewaktu di jalan ia bilang "mbak turunnya di sebelumnya ya, soalnya jalan pintu masuk lagi di perbaikin". Ini alasan kenapa ia selalu minta turun di gang itu, dan tau kenapa? Dia baru memberikan alasannya padaku, bukan pada ayah, ibu, atau kedua kakakku.


Kami tiba dan ia berpamitan,  tak lupa "salim" atau biasa disebut cium tangan. Aku melihatnya memasuki gang bengkel itu dan aku kembali memulai perjalanan pulang. 


Point kedua yaitu, ia percaya padaku.  Saat ibu takut, ia percaya. Saat aku ragu, ia meyakinkanku. Dan saat dimana ia tak menceritakan masalah sepele pada ayah, ibu, atau kakak yg lain tapi ia bisa bercerita padaku.


Point ketiga yg penting, bagaimana aku beranggapan dia anak dewasa tetap saja ia adikku. Usianya 17 tahun, badannya tinggi, pola pikirnya dewasa. Namun ia tetap adikku yg kadang bersikap layaknya seorang adik pada kakaknya dimana ia masih mencium tangan orang yg lebih tua darinya.~~~~


Tambahan:
Susah nyebrang di depan Pasar Induk jalannya rame ditambah hujan, sepanjang jalan banjir air, sampai rumah kuyup semua~ulalaaaaaaa~

Tidak ada komentar: