Senin, 18 April 2016

Halusinasi Adzan

Ruang Tengah, 18 April 2016
Ada dua kejadian aneh hari ini. Tapi kejadian kedua yg paling aneh.

Aku dan raji- *partner pkkp* membuat janji untuk ke gedung direktorat mengurus sertifikat maba yg namanya tidak terdaftar. Setelah janjian dan menghadap ke bagian akademik yg intinya nama maba tersebut tidak terdaftar dan harus mengikuti pkkp di tahun kemudian. Kami keluar gedung dan berniat memberi kabar pada dia, sebut saja namanya fatin. Lalu aku dan raji- berjalan tanpa arah sambil aku terus menelpon fatin, kami tiba di persimpangan jalan dan kebetulan teleponnya tersambung. Aku dan fatin memulai pembicaraan tadi.


Intinya aku dan raji- berada di persimpangan jalan. Benar2 pertigaan jalan, huft parahnya lagi ada orang lewat sebut saja namanya uda. Si uda ini malah ikut bergabung dengan aku dan raji- di persimpangan jalan. Insidennya nggak berhenti di situ, mereka malah duduk di trotoar jalan dan ngobrol. Duh aib macam apa yg akan mereka ajak.


Selesai bicara dengan fatin si uda nanya kenapa, aku pun menjelaskan. Parahnyaaaa si raji- memulai ajakan aib

Raji- : mut duduk apa.
Ue : elah gue gak biasa duduk gini. Cari tempat yg adem apa
Raji- : lu gak biasa nongkrong yak
Ue : iyak
Raji- : lu harus sekali2 ngerasain duduk kayak gini mut
Ue : diem kicep mangap

Pembicaraan ngalor ngidul ama si uda bikin pegel kaki daaan.... ue duduk juga bareng sama uda dan raji- ahhh aib itu dimulai. Ulalalalalala kadang aku suka berharap punya teman seperti mereka. Jujur loh anak tongkrongan nggak selamanya punya image buruk. Misal, mereka suka genjrang genjreng, coba dengerin deh lagunya enak. Kalo kata anonim "radio 24 jam tanpa jeda iklan". Kadang keliatan nggak jelas, tapi perlu diakui mereka solidnya gak main2.
Aku suka dan biasa aja sama anak kayak gitu selama mereka gak ngelakuin 1 hal, merokok. Selain itu it's okay. Balik lagi ke uda dan raji-, singkat cerita pembicaraan gajelas kita berakhir dan kita berpisah diri menuju tempat masing2.



Insiden kedua dimulai

Aku menuju gedung jurusan untuk bertemu dengan salah satu teman. Kami sudah membuat janji namun ia tak kunjung datang. Aku melihat jam 15:10. Pikirku sekalian aja janjian di masjid dan aku menuju ke arah masjid. Saat sedang berjalan ada yg memanggil, aku menoleh dan ternyata temanku itu. Sambil menunggu ia sampai, aku duduk (lagi) di trotoar jalan, bedanya ini bukan persimpangan.


Sambil duduk sayup-sayup aku mendengar suara adzan, terasa sangat jauh padahal masjid yg ku tuju sudah terlihat jelas. Yg parahnya ini parah maksimal, aku mendengar yg mengumandangkan adzan itu 'orang yg tak ingin ku ingat namanya'. Ini parah suara dari mana, suara siapa, kenapa bisa terasa sangat jelas suaranya.

Aku bangun dari duduk dan memaksa temanku untuk berjalan lebih cepat lagi karena aku ingin memastikan ini.
Sampai di pintu utama masjid, adzan baru dikumandangkan dan suaranya bukan yg terekam seperti dalam otakku barusan. Rasa penasaranku belum berakhir, sesaat setelah ambil wudhu aku menuju atas dan aku benar2 ingin meyakinkan hati nuraniku tentang suara 'orang yg tak inginku ingat namanya'. Faktanya aku mengintip dibalik sela2 tirai melihat apakah ada, hasilnyaaaaa tidak....



Halusinasi adzan itu masih terekam jelas di fikiran, dan hatiku~

Minggu, 17 April 2016

Si Nomor Empat

Aku kembali mengaktifkan blog ini karena aku suka bercerita, masalahnya tidak semua orang suka menjadi pendengar dari sebuah cerita. Aku menulis ini karena aku ingin menjadikan ini sebuah kenangan untuk saat nanti, saat dimana aku me-recall kenangan ini lagi~


*Kamar, 17 April 2016*

Hari ini si nomor empat pulang, dia adikku karena kami empat bersaudara sebut saja namanya si nomor Empat. Cerita ini bukan pada kenapa dia pulang, bagaimana dia pulang, atau lainnya. Tapi kisah ini dimulai bagaimana dia kembali ke tempatnya.


Sore tadi sekitar jam 16.30 aku keluar kamar dan melihat ia bersiap2 untuk pulang. Namun si nomor Dua yg biasa mengantarkan sedang tidur. Aku pun menawarkan untuk mengantarkannya. Setelah bersiap ternyata hujan di rumahku semakin lebat, kami siap dengan mantel kami. Point pertama ibu selalu khawatir ketika aku memboncengkan seseorang naik motor, begitupun hari ini.


Kami memulai perjalanan ini dengan "bismillah", secara pribadi aku memang takut membawa orang karena aku pernah mencelakai orang yang ku bawa. Ketika keluar pagar aku memilih jalan yg sempit, berkelok dan turunan alasannya lebih cepat. Faktanya aku kesulitan membawa motor karena beban adikku lebih berat. Kau tau apa yg dia lakukan ketika aku kesulitan? Ia membantuku dengan kakinya, dari fisik tubuh dia lebih layak membawa motor daripadaku namun ia percaya padaku bahwa aku bisa membawanya.


Lalu kami menemui jalan Raya Bogor, aku kesulitan ketika ingin menyeberangkan motorku di tengah hujan. Nomor Empat membantuku (lagi) dengan menggunakan tangannya menandakan kami ingin menyeberang. Jalanan pun banjir aku mengambil posisi aman di sebelah kiri jalan dan ia pun basah karena tidak memakai celana jas hujan.


Sewaktu di jalan ia bilang "mbak turunnya di sebelumnya ya, soalnya jalan pintu masuk lagi di perbaikin". Ini alasan kenapa ia selalu minta turun di gang itu, dan tau kenapa? Dia baru memberikan alasannya padaku, bukan pada ayah, ibu, atau kedua kakakku.


Kami tiba dan ia berpamitan,  tak lupa "salim" atau biasa disebut cium tangan. Aku melihatnya memasuki gang bengkel itu dan aku kembali memulai perjalanan pulang. 


Point kedua yaitu, ia percaya padaku.  Saat ibu takut, ia percaya. Saat aku ragu, ia meyakinkanku. Dan saat dimana ia tak menceritakan masalah sepele pada ayah, ibu, atau kakak yg lain tapi ia bisa bercerita padaku.


Point ketiga yg penting, bagaimana aku beranggapan dia anak dewasa tetap saja ia adikku. Usianya 17 tahun, badannya tinggi, pola pikirnya dewasa. Namun ia tetap adikku yg kadang bersikap layaknya seorang adik pada kakaknya dimana ia masih mencium tangan orang yg lebih tua darinya.~~~~


Tambahan:
Susah nyebrang di depan Pasar Induk jalannya rame ditambah hujan, sepanjang jalan banjir air, sampai rumah kuyup semua~ulalaaaaaaa~